Minggu, 22 Februari 2009

Kerupuk Bamban, Satu Produk Unggulan HSS (1)


Irisan Tebal untuk Dimasak, Tipis Bungkusan

Pernah makan Gado-gado atau bubur ayam. Kerupuk warna-warni dengan motif menawan yang menyertainya itu berasal dari Desa Bamban. Biasa disebut kerupuk Bamban, dibagi dua klasifikasi.

M WAHYUNI, Kandangan

Kabupaten HSS kaya dengan beragam produk makanan. Yang paling terkenal adalah dodol Kandangan. Atau untuk makanan, seperti Katupat Kandangan. Berbeda dengan kerupuk Bamban. Disebut demkian, karena lokasi home industri terletak di Desa Bamban Kecamatan Angkinang.
Di Desa tersebut berkembang lebih dari 20 home industri pembuatan kerupuk. Banyak ragam kerupuk yang dihasilkan di desa yang berada disisi Jalan Provinsi atau sekitar 5 KM dari purat pemerintahan.
Saban hari, terutama hari panas pada musim Kemarau, para pengrajin pasti menjemur kerupuk basah. Setelah dipanaskan berjam-jam, kerupuk menjadi kering. Setelah itu baru dipaking sesuai dengan timbangan. Banyak ragam, kerupuk yang dihasilkan. Mulai kerupuk unyil, kerupuk untuk gado-gado atau kerupuk warna-warni. Ada juga kerupuk besar yang bisa dimakan dengan larutan petis hitam.
Home industri itu juga mendapatkan pembinaan dari Pemkab HSS. Melalui dinas terkait, di desa itu didirikan kios dengan model khas untuk berjualan kerupuk Bamban. Fasilitas yang dibangun Pemkab itu disediakan secara Cuma-Cuma. Para penggiat Kerupuk Bambam hanya menempatkan barangnya, menyediakan listrik dan tentunya memilihara fasilitas tersebut.
Salah satu yang memakai fasilitas itu adalah Halimatus atau biasa panggil Mama Toni. Wanita berumur sekitar 37 tahun ini sudah melakoni usaha jual beli kerupuk Bamban hingga bertahun-tahun. Hasilnya pun cukup untuk menyekolahkan dua anaknya dan membiayai kehidupan. Kerupuk yang dijualnya berasal dari pengrajin, yang tak lain satu rumpun keluarga. “Bilang bakeluargaan nai. Ada sapupu, juga mamarina,” katanya kepada Radar Banjarmasin.
Jadinya untuk menjual ia tidak pernah kehabisan stok. Habis dagangan, maka keluarga yang mengolah akan mengatarkannya atau sebaliknya ia langsung mengambil. Mama Toni, ini tidak sendiri. Lebih penjual yang melakoni usaha sepertinya. Setiap kios pasti menjual dua jenis kerupuk. Yang berbentuk kemasan (mentah) dan kerupuk jadi atau sudah masak. Harganya berbeda, yang masak Rp3 ribu. Mentahnya hanya Rp2 ribu. Beda harga beda pula irisannya, kerupuk yang sudah masak irisannya lebih tebal. Sedangkan yang mentah cenderung lebih tipis. “Bila tipis kerupuk yang dibuat diplastik cepat remuk,” sebutnya. Untuk kuantitasnya, kerupuk tipis mentah dapat menghasilkan dua kali lebih banyak saat dimasak. Bagaimana rasanya, kerupuk masak memang enak dan gurih. Sedangkan bila masak sendiri tergantung keahlian pemasaknya. Karena tipis akhirnya cepat hangit. Tapi kerenyahan tetap terpelihara. Dan rasanya tetap gurih, tidak kalah dengan produk makanan yang dijual lebih mahal. (*)

Kamis, 19 Februari 2009

Booming Jeruk Santang Asal Cina


Disana Jeruk Apkir, Disini Laku Terjual

Bentuknya mungil. Ada yang mengerut, rasanya lumayan manis. Diimpor dari Tiongkok. Biasa disebut jeruk Santang.

M WAHYUNI, Kandangan

Tak hanya di Banjarmasin dan Banjarbaru. Jeruk Santang juga telah membanjiri kawasan Banua Anam. Di kabupaten HSS sendiri limau made in Cina tersebut sudah dijual di beberapa tempat. Oleh pedagang kaki lima.
Warnanya kuning yang menawan ditambah packing dengan keranjang warna habang. Pastinya membuat tertarik siapa saja untuk mencobanya. Banyak kalangan menilai limau ini harganya murah, dengan rasanya manis dan kaya akan vitamin C.
Distribusi jeruk ini dari Tiongkok ke Surabaya, lalu disebar ke Banjarmasin sampai kabupaten lain di Kalsel. Gara-gara booming inilah, para distributor, agen dan pedagang kaki lima untung. Termasuk yang berjualan di Kabupaten HSS.
Kenapa jeruk tersebut banjir bisa sampai ke sini?. Menurut Bupati HSS HM Safi’I yang dua pekan di bulan Januari tadi menjelajahi Negeri Tirai Bambu tersebut punya cerita menarik.
Saat memberikan sambutan pada penyerahan SK PNS sekretaris desa, Bupati dua periode ini menceritakan cerdasnya orang Tiongkok dalam menciptakan nilai tambah hasil pertanian.
Namanya, Santung, mungkin setingkat sebuah Kecamatan di Cina adalah daerah penghasil jeruk tersebut. Di sana penghasilan petani dari berkebun jeruk sudah mencapai Rp75 juta per orang. Mereka menanam beragam jeruk, mulai jeruk yang dapat dimakan dengan kulitnya, jeruk yang hanya diambil sarinya.
”Orang sana tidak menjual hasil pertanian secara mentah. Tapi diolah terlebih dahulu. Menjadi sirup misalnya,” kata Bupati. Karena dengan mengolah lagi, penghasilan yang diperoleh petani dapat berlipat ganda.
Hasil pertanian yang diolah untuk meningkatkan nilai tambah tersebut adalah hasil pertanian yang baik, sedangkan yang tidak baik alias apkiran biasanya mereka jual secara mentah. “Mereka tidak mungkin jual hasil mentah pertanian. Kecuali barangnya tidak layak. Ya seperti limau yang ada ini. Kecil bentuknya di sana barang apkir,” ungkap Bupati lagi. Itulah Jeruk Santung, yang disini di kenal dengan nama Limau Santang.
Prospek Limau Santang cukup menjanjikan. Iwan, salah seorang pedagang limau made in Tiongkok ini mengatakan dalam sehari laku 10 kotak. Per kotak itu terdiri dari puluhan jaring limau. “Per jaring (keranjang, Red) harganya Rp10 ribu sampai Rp13 ribu. Ya lumayan untungnya,” kata Iwan yang jualan di sisi Jalan A Yani Kandangan. Selain laku keras. Limau ini juga tidak awet. Dalam tiga hari banyak yang busuk. Kalau dihitung per 50 kotak busuknya sampai 5 kotak. Iwan mengakui tahu asal muasal limau ini dari Cina sana. “Bisa saja ini limau apkiran lalu dijual lagi di wadah kita,” katanya. ***